Bertoleransi terhadap agama lain sudah dicontohkan sejak zaman Rasulullah. Sejak Rasulullah mendakwahkan tauhid, beliau juga menekankan tentang indahnya tasamuh atau toleransi umat Islam terhadap agama lain. Toleransi merupakan salah satu nilai yang mencerminkan Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin.
Toleransi yang Diajarkan Rasulullah
Saat berperang, Rasulullah juga menekankan toleransi. Perang melawan kaum kafir yang mengusik dan mengancam memang tidak bisa dihindarkan. Tetapi Rasulullah berpesan agar kaum muslimin juga menjaga tempat ibadah agama lain dan tidak merusaknya. Saat memberangkatkan pasukan kaum muslimin, beliau bersabda, “Berangkatlah dengan nama Allah, berperanglah di jalan Allah terhadap orang-orang yang kufur kepada Allah, jangan melampaui batas, jangan berkhianat, jangan mencincang dan jangan membunuh anak-anak serta penghuni-penghuni gereja (orang-orang yang sedang beribadah)”.
Baca juga: Mengenal Sosok Umar bin Abdul Aziz yang Dikenang Sepanjang Masa
Umroh.com merangkum, rasulullah juga mencontohkan bagaimana sikap yang baik saat bermuamalah dengan orang kafir. Misalnya saat beliau berbisnis, Rasulullah tetap bersikap adil, jujur, dan menghormati rekan bisnisnya yang kafir. Para ulama lalu menyimpulkan bahwa berbisnis dengan orang kafir dibolehkan.
Selain dalam masalah bisnis, Rasulullah juga mencontohkan toleransi dan sikap menghormati kepada orang kafir dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menjenguk tetangga kafir yang sedang sakit.
Rasulullah berpesan kepada kita agar selalu menjaga sikap terhadap orang kafir. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang menyakiti kafir Dzimmi, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara denganku, maka aku akan memperkarakannya pada hari kiamat”.
Toleransi ajaran Rasulullah juga mempersilakan umat lain menjalankan ritual agama yang diyakininya. Rasulullah juga tidak pernah memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Namun Rasulullah tidak bersedia melakukan sesuatu yang diartikan sebagai pengakuan dan penerimaan terhadap Tuhan yang mereka sembah. Diriwayatkan, suatu hari ada seorang Quraisy yang meminta kepada Rasulullah, “Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami, niscaya kami menyembah tuhanmu”.
Untuk menjawab bujukan itu, Allah menurunkan surat Al Kafirun. Di ayat 6, Allah berfirman, “… Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku”. Surat Al Kafirun memang diturunkan saat Rasulullah menghadapi lobi-lobi dari kaum kafir Quraisy. Kala itu, mereka menawari Rasulullah dengan harta, tahta, dan wanita, namun dengan syarat tidak menganggap Tuhan yang mereka sembah sebagai keburukan.
Toleransi di Masa Khulafaur Rasyidin
Para khulafaur rasyidin setelah Rasulullah juga masih terus menerapkan toleransi beragama di wilayah kekuasaannya. Para khalifah senantiasa mengingat pesan Rasulullah untuk bertoleransi, serta menjaga keselamatan kaum kafir yang tidak mengancam.
Saat Abu Bakar As Siddiq menjabat khalifah, beliau menyampaikan pesan yang sama dengan Rasulullah. Misalnya saat mengirim pasukan Usamah bin Zaid, Abu Bakar memberi nasihat bahwa “jangan membunuh anak-anak, wanita, orang lanjut usia dan tidak boleh mengganggu orang yang sedang mengabdikan diri di biara (tempat ibadah)”.
Di masa pemerintahan Umar, beliau menerapkan sikap toleransi kepada kaum kafir. Umar bin Khattab adalah salah seorang Khulafaur Rasyidin yang dikenal sangat tegas, namun juga memiliki sikap toleransi yang baik.
Umar pernah terlibat dalam perjanjian Aelia dengan umat Nasrani di Yerusalem. Saat itu, wilayah Aelia atau Yerusalem sudah berada di tangan muslim. Penyerahan kunci kota dari Patriarch Sophorinous kepada Umar dilakukan dengan upaya diplomasi dan tanpa paksaan.
Untuk membalas niat baik pemuka agama Kristen Ortodoks, Umar menawarkan perjanjian damai. Perjanjian berisi jaminan yang diberikan Umar untuk menjaga keamanan, hak hidup, hak milik harta, bangunan-bangunan gereja, salib-salib mereka, dan orang-orang lemah, orang-orang yang sehat, dan semua pemeluk agama.
Perjanjian yang juga dinamakan Deklarasi al-‘Uhda al-‘Umariyyah ini dilakukan di Gereja Qiyamah, antara Khalifah Umar bin Khattab dan Patriarch Sophorinous. Perjanjian tersebut juga menjadi pesan bagi kaum muslimin bahwa semua harus menghormati hak-hak warga sipil di sana.
Sebuah kisah unik terjadi setelah Perjanjian itu disepakati. Saat tiba waktu shalat, Umar bertanya kepada Patriarch Sophorinous di mana ia bisa shalat. Patriarch Sophorinous mempersilahkan Umar untuk shalat di gereja. Namun Umar menolak. Beliau kemudian keluar dari gereja dan shalat di anak tangga.
Umar menjelaskan alasannya tidak mau shalat di dalam gereja. Gereja Qiyamah merupakan tempat suci bagi bagi umat Kristen Ortodoks di Yerusalem. Jika Umar shalat di dalam gereja, maka pasukan muslim bisa menafsirkan bahwa suatu hari nanti Gereja Qiyamah boleh ditaklukan dan diubah menjadi masjid. Mendengar penjelasan Umar, Patriarch Sophorinous mengangguk dengan kagum.
Sebagai penghormatan, di tempat Umar bin Khattab shalat di depan gereja itu kemudian dibangun masjid. Tetapi Umar melarang adzan berkumandang di masjid itu, karena khawatir akan mengganggu ritual ibadah umat yang ada di dalam gereja.
Sikap toleransi yang ditunjukkan Umar bersumber dari ketakwaannya. Kesholihan Umar, serta kecintaannya kepada Allah dan RasulNya tak perlu diragukan lagi. Umar bin Khattab adalah seorang yang meyakini bahwa selain menjaga keimanan, hubungan baik kepada Allah, serta meneladani Rasulullah, sebagai khalifah ia juga harus menjaga hubungan baik pada kehidupan sosial rakyat yang dipimpinnya. Karena itu ia menekankan toleransi kepada siapapun, termasuk orang kafir atau orang dari ras berbeda.
Salah satu kisah yang menunjukkan sikap toleransi Umar adalah saat bertemu dengan seorang Yahudi tua. Suatu hari, Umar bin Khattab sedang berjalan melewati suatu kaum. Ia kemudian menemukan seorang pengemis tua yang tampaknya memiliki gangguan pada penglihatannya. Umar mendekati pria tua itu dan bertanya, “Tuan dari ahli kitab golongan mana?”. Orang tua itu menjawab, “Yahudi”.
“Mengapa Anda melakukan ini (mengemis)?”, tanya Umar. Orang tua itu menjawab, “Aku meminta-minta agar bisa membayar jizyah, memenuhi kebutuhan hidupku, dan usiaku yang sudah tua membuatku tak mampu bekerja”.
Baca juga: Ini Kata Umar bin Khattab soal Infrastruktur Pembangunan
Umar bin Khattab kemudian menggenggam tangan orang tua itu. Beliau menuntun prita tua itu ke rumah Umar, dan memberikan bekal dari rumahnya. Kemudian Umar membawa kakek itu kepada penjaga Baitul Mal sambil berpesan, “Uruslah orang ini dan orang-orang yang sepertinya. Demi Allah, kita tidak berlaku adil karena kita telah memakan jerih payah masa mudanya (membayar jizyah), kemudian kita mengabaikannya ketika dia telah mencapai usia tua”.
Bukan hanya sampai di masa Umar bin Khattab, toleransi serupa terhadap umat agama lain dan suku lain juga masih ditekankan di masa Utsman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib. Begitulah bentuk toleransi Khulafaur Rasyidin yang menenangkan hati.